Anomali Kelas 3-E
Lembayung
senja mencengkram tepian bebatuan karang, hamburan jinggapun pecah menyejukkan
mata. Sepoi-sepoi hembusan angin memanjakan ku dalam lamunan yang panjang.
“Kring ... kring,” ponselku berdering dan seketika memecah lamunan ku.
Panggilan yang masuk itu adalah panggilan untuk mengajar di sebuah sekolah
menengah atas yang terkenal sebagai sekolah anak-anak nakal. Jiwa ku tertantang
untuk mengajar disana tapi keraguan mulai menyergap ku. Keraguan itu muncul
karena rasa kurang percaya diri ku. Seorang wanita lugu seperti ku mendapat
tanggung jawab besar untuk mendidik anak-anak nakal itu.
Senin,
20 januari 2022 adalah hari pertama ku mengajar di sekolah itu. Kejutan demi
kejutan ku temui dihari pertama ku. Sekolah ini ternyata sungguh mewah dan
bersih. Jujur dalam fikiran ku, aku berfikir bahwa sekolah ini kumuh, tidak
berturan dan sangat kotor. Kejutan itu tidak berhenti disitu saja. Suasana
ruang kantor yang begitu hening dan monoton membuat ku mulai mengantuk ketika
harus menunggu untuk rapat hari ini. Semua mata memandangin ku dengan sinis dan
desas-desis cemoohanpun mulai terdengar mengusik keheningan ku. Wajah ku yang
lugu dan terkesan bodoh ini membuat semua mata meragukan kemampuan ku. Rasa
terintimidasipun mulai ku rasakan. “Perkenalkan ini Ibu Shyfa Putri guru baru
di sekolah ini dan akan mengajar materi pelajaran bahasa Jepang. Dia memang
masih muda tapi kemampuannya cukup baik,” jelas kepala sekolah memperkenalkan
ku. Ekspresi yang ku tangkap dari dari semua wajah disana adalah terkejut
ketika mendengar aku akan mengajar bahasa Jepang. kebingungan kembali
menyelimuti ku. “Maaf Pak ?, berarti Ibu
Shyfa ini akan mengajar di kelas bahasa, dan kelas yang tidak memiliki guru
bahasa Jepang adalah kelas 3-E Pak. Apakah Ibu Shyfa ini akan di tempatkan
disana Pak ?” Seorang guru tiba-tiba bertanya dengan ekspresi yang sulit
dijelaskan. “Ia benar sekali, dan juga sekaligus menjadi wali kelas untuk kelas
3-E,” tegas Kepala Sekolah. “Apa ... ?” Semua orang diruang rapat ini serentak
terkejut, dan itu membuat ku kaget dan semangkin berapi-api menerima tantangan
itu. “Terimakasih Pak atas amanah yang diberikan ini dan saya akan bekerja keras
untuk memberikan yang terbaik,” jawab ku dengan tegas dan bangga. “Apa ...?” Semua
kembali terkejut mendengar jawaban ku. Kebingunganpun menyeruap dan menimbulkan
berjuta pertanyaan besar untuk ku. Rapatpun selesai dan tidak satupun jawaban
ku temui sampai akhirnya waktu ku untuk
beraksi pertamakalipun datang.
Lorong
panjang yang terkesan mewah menghantarkan ku menuju kelas 3-E. Kelas ini begitu
berbeda dan sangat mencolok dari kelas yang lainnya. Rasa penasaran ku sangat
besar untuk segera bertemu siswa-siswi kelas ini. Aku buka pintu kelas itu
dengan perlahan dan kejutanpun ku dapatkan. Tidak jelas bagi ku apa yang
terjadi namun yang ku tau setelah membuka pintu banyak balon pecah dan kaca
mata ku yang semula cemerlang kini kusam dipenuhi tepung. Kejutan ini sungguh
luarbiasa untuk ku. “Terimakasih, ini sungguh luarbiasa, aku tidak akan
melupakan ini semua,” ujar ku pada mereka sambil membersihkan kaca mata ku.
Hari ini akan menjadi hari yang tidak terlupakan, karena hari ini aku
mendapatkan sesuatu yang belum pernah ku dapatkan sbelumnya. “Selamat datang di
kelas 3-E, selamat bersenang-senang,” salam dari penghuni kelas 3-E. “Itu
adalah ucapan selamat datang yang sangat manis, dan tentunya saya akan
bersenang-senang dengan kamu semuanya,” aku menjawab dengan tidak formal.
Suasana
kelas itu cair dengan canda dann tawa, yang semula canggung dan tegang.
“perkenalkan nama saya Shyfa Putri, dan saya adalah wali kelas baru di kelas
ini sekaligus guru bahasa Jepang di kelas ini, salam kenal ya !” sapa ramah ku
pada mereka semua. Tiba-tiba kelas menjadi hening setelah mendengar pengenalan
ku. “Apa Ibu yakin akan menjadi wali kelas kami ?” Seorang siswa bertanya, dan
mengejutkan ku. “Tentu, kenapa tidak,” Dengan percaya diri aku menjawabnya.
Reaksi berbeda muncul di kelas ini mendengar jawaban ku. “Tidak semudah itu Bu,
kami bukan siswa-siswi biasa yang mudah di tangani,” jelas seorang siswi yang
merupakan satu-satunya siswi di kelas ini. Mendengar penjelasan siswi tersebut
aku sempat merasa ragu dalam diam ku, namun ambisi untuk membuktikan kemampuan
ku mengalahkan semua keraguan itu. “Tidak masalah, saya optimis bisa mendidik
siswa-siswi 3-E ini,” senyum sumbringah menyertai jawaban ku. Suasana kelas
kembali hening dan terasa mulai tegang. “Baiklah kita mulai dengan pengenalan,
silahkan perkenalkan diri dimulai dari ujung sebelah kiri saya,” ujar saya
memecah hening yang kemudian berlanjut dengan pengenalan. Hari yang panjang ini
pun berakhir dengan penuh pertanyaan.
Gemercik
ombak mengantarkan langkah ku menuju sekolah tempat ku berjuang dan
bersenang-senang. Sepeda buntut yang telah menemani ku sejak masa SMA dulu
masih setia mengantarkan ku menuju dunia baru ku. Sepanjang perjalanan ku, aku
berfikir bahwa begitu luarbiasa sebuah Sekolah Menengah Atas yang begitu mewah
berdiri di daerah kepulauan yang tidak begitu luas ini. Suatu hal yang perlu
disyukuri terlempar jauh ke daerah orang namun menemukan daerah indah dan penuh
kejutan.
Kelas
3-E, kelas yang begitu berbeda dan membuat ku semangkin penasaran apa yang
membuatnya begitu berbeda. Waktu berputar cepat dan saat ku tiba untuk memberi
pengajaran di kelas 3-E ini. Pintu kelas yang berwarna hitam penuh
coret-coretan tak beraturan itu ku buka, dan pemandangan yang membosankan ku
temui disini. Mereka semua duduk rapi menunggu ku, lalu apa yang membuat mereka
berbeda masih menjadi pertanyaan bagi ku. Senyum ku hamburkan pada mereka dan
aku pun duduk di kursi ku. Seketika aku duduk, tiba-tiba banyak bola-bola
kertas berterbangan menuju ku. Setelah semua bola-bola kertas itu berujung
dengan membentur ku, aku pun tertawa dan berkata “Sambutan luarbiasa di hari
pertama saya mengajar, terimakasih,” suasana kelas yang semula hendak tertawa
terbahak-bahak menjadi hening dan tegang,” saya disini untuk mencapai apa yang
ingin saya capai, apapun yang kamu semua lakukan pada saya tidak akan
berpengaruh apapun. Saya disini juga tidak memposisikan diri saya sebagai guru
tapi teman bagi kamu semua. Kamu semua tidak perlu memanggil saya Ibu, cukup
panggil nama saya Shyfa dan kita menjadi teman mulai hari ini.” Jelas ku
panjang pada siswa-siswi kelas 3-E. Keheningan ini pun pecah menjadi riuh
dengan bisik-bisik rencana baru untuk membuat ku menyerah. “Percuma, saya akan
sangat menikmati semua jebakan yang kamu semua buat, baik itu di pintu, kursi,
meja, papan tulis, jendela, hingga toilet. Saya sudah mengetahui semua rencana
dan jebakan yang telah di persiapkan untuk menjebak saya. Untuk menghargai
usaha kamu semua saya rela terlihat bodoh dengan terjabak jebakan yang telah di
buat ini. Jangan tegang dan kawatir karena saya adalah teman kamu semua dan
kamu tidak perlu merasa takut dan bosan dengan pelajaran saya kareena kita akan
bermain dan bukan belajar,” penjelasan panjang lebar ku berikan pada mereka.
Ekspresi bingung dan bertanya-taanya terlihat dari wajah mereka.
Proses belajar
pun mulai tanpa kata apaun dari mereka yang menanggapi penjelasan ku. “Maaf Bu,
ehh Shyfa, saya ingin menyampaikan kalau kamu ingin menjadi teman kami, kamu
harus bisa bersenang-senang seperti kami bersenang-senang. Kami sangat menyukai
games dan kami akan memberi kamu games setiap harinya selama sepuluh hari, jika
dalam sepuluh hari kamu hanya gagal 2 kali maka kamu resmi menjadi bagian dari
kami,” penjelasan menantang dari Roby,
ketua kelas 3-E. Mendengar pernyataan yang dijelaskan oleh Roby tadi membuat
saya semangkin yakin bahwa mereka sedang membuka hatinya untuk menerima saya
sebagai bagian dari mereka. “Ok, dengan senang hati saya menerimanya namun saya
memiliki syarat. Jika saya berhasil menyelesaikan games dalam sepuluh hari tanpa gagal maka kita semua sepakat
untuk menjadikan kelas kita menjadi kelas terbaik tahun ini dan mengejutkan
semua orang-orang yang telah meremehkan kita,” penerimaan dan tawaran ku pada
mereka. Suasana kelas yang tegang mulai mencair dengan disepakatinya perjanjian
tersebut. Proses belajar-mengajar berjalan dan berakhir. Mengambil kesimpulan
dari yang telah aku lihat bahwa mereka adalah anak-anak terlalu pintar yang kurang mendapatkan kesempatan untuk berekspresi
dengan kemampuan mereka. Pertanyaan ku pun terjawab hari ini.
Hari
demi hari ku lewati bersama mereka dan setiap harinya aku semangkin memahami
dan mengetahui apa yang mereka mau sebenarnya. Hari ini adalah hari ke sepuluh
yang merupakan hari penentu bagaimana pertemanan ini. Berjuta pertanyaan yang
muncul di benak ku tentang apa yang akan mereka tanyakan pada ku. Games apa
lagi yang akan diberikan pada mereka untuk ku.
“Shyfa
ini pertanyaan terakhir untuk kamu, Apa yang membuat kamu optimis untuk
mendidik dan menjadikan kami teman kamu ?” Tanya Roby sebagai perwakilan kelas
menyampaikan pertanyaan tersebut. “Saya
sangat senag ketika kamu semua telah terbiasa memanggil nama saya dan bukan
Ibu. Jawaban saya dari pertanyaan kamu semua adalah saya merasa kamu
siswa-siswi 3-E adalah sama dengan saya. Karena berwajah polos dan terkesan
bodoh semua orang mencemooh sebelum mengetahui siapa saya, dan merasa
terintimidasi sehingga kesempatan untuk kita menjadi sesuatu itu sangat kecil
bahkan jika di lihat sekilas nyaris tidak ada, namun saya yakin dengan bersama
kalian saya bisa menjadi lebih baik,” jawaban
yang sangat emosional aku sampaikan.
Kelas
hening sejenak mendengar jawaban dari ku dan kemudian mereka dengan serempak
berkata “Kita adalah teman mulai hari ini, dan kita akan menjadi yang terbaik
dari semua kelas yang ada di tahun ini.” Peristiwa yang begitu emosional
membuat ku tidak bisa menahan air mata ku. Tekat bulat telah meneguhkan ku dan
kelas 3-E untuk membuktikan kemampuan kami yang sebenarnya. Matahari seakan
muncul di kelas 3-E memberi cahaya dan energi untuk kami berjuang mencapai
target yang kami inginkan.
Kelas
3-E berhasil menjadi kelas terbaik dengan meluluskan semua peserta didiknya di
University terbaik. Kerja keras selama satu tahun dengan tujuan yang sama dan
meraihnya bersama-sama, aku Shyfa Putri
bersama kelas 3-E berhasil membuktikan siapa kami sebenarnya dan bagaimana kami
seharusnya di perlakukan. Tidak ada manusia bodoh karena manusia pada
hakikatnya adalah mahluk pendidikan yang berkemampuan untuk di didik, mendidik
diri, dan mahluk yang dapat di didik.
“Gapai
mimpi mu sampai cemoohan itu berubah menjadi pujian”
Mantapp..
BalasHapus